Colorisme


“MEREBUT RUANG SAYA DARI COLORISME”

Deskriminasi tanpa dasar, merebak menjadi pandemi yang terus tumpang tindih sampai sudah lazim dan sulit ditegaskan. Begitu lah Rasisme yang memandang etnis tertentu lebih rendah. Rasisme ada dimana-mana, tanpa disadari bahwa doktrin rasisme sudah tersebar sejak dulu. Colourism atau anti Blackness adalah orang-orang yang menghubungkan warna kulit yang gelap dengan hal-hal yang negatif. Padahal secara biologis warna kulit tidak berkaitan dengan tingkat intelektual seseorang yang dapat mempengaruhi tingkah laku, sikap, sampai gaya hidup. Ingat insiden yang menimpa Alberto Adriano dan George Floyd, yang menjadi korban akibat diskriminasi ras yang parah. Masalah colorisme ini bukan menjadi rahasia lagi untuk beberapa orang, tetapi sudah menjadi berita dunia yang masih kental di kehidupan sehari-hari yang dihadapi di dunia, termasuk Indonesia.

Pentingnya melawan rasisme dengan membangun kesadaran diri

Menanamkan pemahaman terhadap diri sendiri sangat penting bahwa setiap manusia memiliki kesempatan dan kewajiban yang sama. Hal yang perlu disadari adalah bahwa ada dan nyatanya rasisme, mengingatkan kembali bahwa kemanusiaan diatas segala-galanya terlepas dari mana asal negaramu, agamamu, maupun orientasi seksualmu.

Rasisme vs Colorisme

Apakah diskriminasi warna kulit termasuk kedalam rasisme?

Rasisme dan Colorisme berbeda namun masih diartikan sama yaitu sama-sama terjadi diskriminasi dimana terdapat stigma yang memandang etnis tertentu lebih rendah dan lebih tinggi. Rasisme merupakan diskriminasi antar ras, sedangkan colorisme merupakan diskriminasi anggota ras berdasarkan keterkaitan sosial budaya yang melekat pada warna kulit.

Sejak zaman penjajahan, Colorisme di Indonesia sudah melekat kuat dari dulu. Perbandingan penjajah dengan jajahannya memiliki persepsi bahwa warna kulit yang terang memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingan yang berkulit lebih gelap terlihat primitif dan berada di tingkat rendah. Tidak perlu jauh-jauh melihat sejarah, sekarang di era modern banyak iklan kecantikan yang lebih menampakan pria atau wanita berkulit cerah sehingga mendapatkan perhatian dan peran lebih bagus dari pada orang berkulit gelap. Selain iklan kecantikan, film-film di Indonesiapun hampir jarang melihat perhatian dan terkenal dari orang-orang yang berkulit gelap. Mengingat standar kecantikan orang Indonesia adalah berkullit putih bersih dan berambut lurus dapat membuat kaum perempuan terobsesi sampai berusaha menjadikan kulitnya menjadi putih dan cerah seperti bule. Padahal umumnya kulit orang Indonesia berwarna sawo matang (Yulianto 2007). Hal ini tentu menggeser idealisme warna kulit orang Indonesia. Produk kecantikan pemutih yang semakin menjamur, sangat jarang iklan yang ditemui model wanita atau pria yang berkulit gelap sebagai model utamanya dan kerap menampilkan kulit gelap tidaklah menarik dan cantik yang kemudian munculnya rekomendasi produk dengan mendatangkan wanita yang berkulit cerah dan lebih terpandang.

Diskriminasi sering terjadi dimana-mana, secara tidak langsung terkadang tuntutan pekerjaan menjadikan seseorang mengingkan kulit menjadi putih yang disebabkan tuntuan karir, tekanan sosial, menarik lawan jenis dan citra tubuh. Colorisme tentu berdampak langsung terhadap kesehatan psikologis dan mental seseorang yang dapat juga menurunkan harga diri yang muncul akibat konsep diri yang dimiliki tentang ketidakpuasan terhadap warna kulit yang dapat mengganggu psikososial sehari-hari.

Perlunya pengembangan konsep diri sebagai solusi untuk mengurangi dampak idealitas warna kulit dengan cara mengembangkan citra tubuh positif diawali dengan mengubah persepsi negatif kepada seseorang dan selalu berfikir positif serta tidak mencela diri sendiri maupun oranglain (Gillen 2015).

 

 


Komentar

Postingan Populer